Sunday, February 16, 2025

Morning Drive & Double Espresso Part 1



Udara kamar masih sejuk dari sisa dinginnya AC. Jam di dinding menunjukkan pukul empat lebih sedikit. Gue bangun pelan, tarik napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang. Nyaman. Tenang. Sebelum tangan meraba saklar lampu, gue udah tahu: di luar sana bulan masih tinggi.

 

Ambil wudhu, air dingin membasuh wajah, bikin kepala lebih segar. Gamis longgar udah siap di gantungan, wanginya bersih. Sikat gigi, lalu semprot parfum tipis-tipis—kebiasaan yang bikin badan lebih enak sebelum keluar rumah.

 

Pelan-pelan gue bangunin istri dan anak-anak. “Subuh bentar lagi,” suara gue pelan, nggak pengen kagetin mereka. Mereka bakal shalat di rumah, tapi tetap harus siap-siap.

 

Keluar rumah, udara jauh lebih segar dari yang gue kira. Cerah. Tengah bulan, bulan purnama masih menggantung di langit. Terang, seakan ngasih lampu tambahan buat jalanan yang masih lengang.

 

1303 udah nunggu di garasi. Duduk di balik kemudi, tarik choke sedikit, putar kunci. Brejet! Mesin tua itu bangun, sedikit batuk-batuk, lalu stabil di idle yang lumpy tapi mantap. Ada sesuatu yang satisfying dari ritual ini. Tarikan pertama, suara karburator yang masih kasar, lalu transisi ke suara mesin yang lebih stabil seiring suhu naik.

 

Lima menit cukup buat warming up. Gue masukin gigi, injek gas tipis, keluar pelan dari garasi. Jendela gue buka, biar udara pagi masuk. Sepanjang jalan, suasana masih gelap tapi terang—perpaduan bulan dan lampu-lampu jalan bikin atmosfernya khas. Sunyi. Nyaman.

 

Sampai di masjid, suara adzan menyambut dari speaker. Gue matiin mesin, keluar, dan jalan pelan ke dalam. Lantai masjid dingin di telapak kaki, tapi suasananya hangat. Orang-orang datang satu per satu, ada yang duduk berzikir, ada yang langsung ambil shaf. Gue shalat dua rakaat sebelum subuh, seperti yang Nabi ﷺ sabdakan:

 

رَكْعَتَا الفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

 

“Dua rakaat sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya.”

(HR. Muslim no. 725)

 

Rasanya sederhana, tapi ada ketenangan yang nggak bisa dijelasin dengan kata-kata. Lalu shalat subuh berjamaah. Doa, dzikir sebentar.

 

Keluar dari masjid, langit mulai beranjak biru. Hari udah siap mulai. Dan gue pun siap memulai bagian favorit pagi ini: kopi.


VW kembali menyala, kali ini lebih smooth. Gue bawa pelan ke Chief Coffee. Sampai di depan, suasananya masih lengang. Beberapa kursi kosong, barista masih sibuk mengkalibrasi rasa signature blend pilihan Chief Coffee.

 

Gue masuk, dan seperti biasa, pesenan nggak perlu banyak pikir: double espresso. Kopi di sini bukan tipe yang fruity atau playful—rasa bold, straightforward, dan manly.

 

Duduk di pojok, dekat jendela. Kaca masih berembun tipis, efek AC baru dinyalain. Dari tempat gue duduk, VW terparkir persis di depan. Sunyi, tapi ada presence yang bikin mobil itu lebih dari sekadar kendaraan.

 

Cahaya matahari mulai masuk, sinarnya kuning kemerahan, kena meja bundar kecil di depan gue. Satu cangkir espresso double di tengahnya. Sepiring croissant almond di samping. Sesederhana itu, tapi komposisi yang sempurna.

 

Bekas editor gue dulu pernah bilang, kalau mau motret mobil, eye-level terbaik adalah sejajar dengan orang yang duduk di coffeeshop, melihat ke arah parkiran. Kalimat itu nempel terus. Dan sekarang, tanpa kamera di tangan, snapshot itu tetap terjadi di kepala gue. Setiap kali.

 

Seruput espresso pertama. Panas, pekat, dengan rasa pahit yang solid. Kombinasi sempurna buat pagi. Gigitan pertama croissant—renyah, dengan rasa manis dan gurih dari almond yang kena caramelized sugar.

 

Di luar, VW dingin, namun suara raungan dan deru mesinnya masih terasa di kuping, punggung, dan leher. Seolah mengajak untuk melanjutkan perjalanan, untuk segera pulang. Kita lanjutin besok pagi.


No comments:

Post a Comment